Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana memperketat mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Hal ini akan diwujudkan melalui peraturan komisi (perkom) yang meregulasi ketetapan terkait pelaporan hingga sanksi bagi para aparatur negara yang berkewajiban melaporkan LHKPN.
"Kami mendorong agar ada perubahan terkait peraturan komisi yang menyangkut LHKPN," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (2/3).
Diungkapkan Alex, perubahan ketentuan itu akan mengatur kewenangan KPK dalam menentukan pejabat negara yang wajib menyampaikan laporan atas harta kekayaannya. Selain itu, regulasi ini juga mengatur penjatuhan sanksi bagi para wajib lapor yang tidak jujur atau bohong dalam pelaporan LHKPN.
Alex menyebut, pembaharuan ketentuan tersebut direncanakan rampung tahun ini agar dapat segera diterapkan.
"Tahun ini sudah kita perintahkan agar jadi perkom ini, termasuk sanksi tadi. Sanksi itu kita akan menetapkan, kalau ada pejabat yang misalnya tidak jujur dalam pengisian (LHKPN), harus diberhentikan, dinonaktifkan dari posisi yang bersangkutan," ucapnya.
Lebih lanjut, kata Alex, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk menyusun regulasi internal terkait kepegawaian, misalnya soal kode etik. Hal ini dilakukan agar ada keselarasan antara kebijakan di KPK dan masing-masing lembaga, agar tidak terjadi tumpang tindih apabila terjadi pelanggaran terkait hal ini.
"Kami juga berkoordinasi dengan lembaga terkait agar setiap lembaga membuat aturan internal, misalnya terkait kode etik. Di dalamnya juga diatur terkait integritas, kejujuran yang bersangkutan. Kalau nggak benar, harusnya sudah selesai, ada sanksinya juga," tutur Alex.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan poin kelemahan LHKPN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Kelemahan itu yakni tidak adanya sanksi pidana apabila penyelenggara negara terlambat melaporkan, tidak melaporkan, atau tidak benar dalam melaporkan harta kekayaannya.
"Selama ini semua hanya (sanksi) administratif dan diserahkan ke pimpinan. Yang jadi masalah kalau pimpinannya juga tidak tertarik dengan LHKPN, ya sudah," kata Pahala dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/3).
Oleh karenanya, Pahala mengharapkan adanya perbaikan regulasi terkait ketentuan sanksi atas penyampaian LHKPN oleh para penyelenggara negara.
"Orang terang-terangan bilang 'saya nggak ngelapor' saja nggak diapa-apain, yang melapor tidak benar malah nggak ada sanksinya. Nggak diatur sama kita. Jadi kalau dibilang apakah kita ingin ada sanksi, ya sangat ingin," ujar dia.
Belakangan, harta kekayaan sejumlah pejabat pajak di Kementerian Keuangan jadi sorotan publik lantaran gaya hidup mewah yang dipamerkan mereka di media sosial. Beberapa orang yang disorot antara lain eks Kabag Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo; Kepala Kantor Bea dan Cukai Yogyakarta nonaktif, Eko Darmanto; hingga Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah mengumumkan pencopotan Rafael pada Jumat (24/2) lalu. Pencopotan tersebut dilakukan untuk pemeriksaan Rafael usai sejumlah harta kekayaan dan barang mewah yang dimilikinya dicurigai oleh publik.
Kemudian, Eko Darmanto juga dibebastugaskan dari jabatannya. Hal ini juga sebagai langkah untuk memudahkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap Eko
Sementara itu, Suryo Utomo diminta untuk memaparkan kepada publik tentang kekayaannya, demikian juga dengan asal-usulnya. Instruksi tersebut keluar menyusul tingginya sorotan netizen dan pemberitaan tentang kekayaan Suryo Utomo sebesar Rp14,4 miliar.
Terkini, KPK telah memanggil Rafael Alun untuk menyampaikan klarifikasi atas harta senilai Rp56 miliar yang tercatat di LHKPN miliknya. KPK juga akan memanggil Eko Darmanto untuk tujuan yang sama usai ditemukan kejanggalan atas LHKPN yang dilaporkannya.